Selasa, 26 Juni 2012

Pahala Menanti Waktu Shalat


Pahala Menanti Waktu Shalat
قَالَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لا يَزَالُ الْعَبْدُ، فِي صَلاةٍ، مَا كَانَ، فِي الْمَسْجِدِ، يَنْتَظِرُ الصَّلاةَ، مَا لَمْ يُحْدِثْ.
(صحيح البخاري)
“ِSabda Rasulullah saw : Tiada hentinya hamba dalam pahala shalat (walau ia diam) selama ia masih tetap dimasjid dalam keadaan suci menanti waktu shalat” (Shahih Bukhari)
ImageAssalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha Membuka keluhuran di dalam kehidupan jiwa, Yang menjadikan setiap detik-detik adalah berlian keabadian untuk mencapai kedekatan kepada Allah, hingga sampailah kepada kita seindah-indah kabar yang merupakan samudera luas Ilahi, mutiara pembuka keridhaan Allah subhanahu wata’ala, rahasia cahaya kebahagiaan dunia dan akhirat, rahasia pembuka keluhuran di dunia dan akhirat, rahasia pembuka kesucian dan keindahan yang membuat hati tenang yang dipenuhi dengan iman dan ihsan di dunia dan akhirat. Suara dari untaian kalimat-kalimat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menerangi jiwa-jiwa para sahabat dan mengangkat jiwa mereka menuju kepada keluhuran, yang telah berkata sayyidina Abu Hurairah RA:
ياَرَسُوْلَ الله إِذَا رَأَيْنَاكَ رَقَّتْ قُلُوْبُنَا
“ Wahai Rasulullah jika kami melihatmu, terangkatlah hati kami sampai puncak ke khusyu’an”
Maka ketika pemilik wajah indah itu mengucapkan kata-kata sungguh seakan-akan mutiara berjatuhan dari bibir mulia beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena indahnya suara beliau. Sehingga diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa tiada suara yang lebih indah daripada suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketika beliau berbicara di hari Hajj Al Wada’ (Haji Perpisahan) yang dihadiri oleh puluhan ribu orang maka suara beliau terdengar rata oleh orang yang berada di barisan terdepan atau pun yang berada di barisan paling belakang, meskipun di saat itu tidak ada pengeras suara, akan tetapi angin tidak berani memotong suara nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana suara itu mampu menembus ‘arsy Ar rahman di dalam munajat. Dalam hadits diatas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang duduk menanti waktu shalat dan dalam keadaan suci maka ia mendapatkan pahala shalat selamat waktu menanti shalat tersebut, misalkan seseorang menunggu waktu shalat Asar sejak selesai shalat Dzuhur, maka selama waktu menunggu itu ia terhitung melakukan shalat meskipun dalam keadaan tidur (tidur dengan keadaan duduk), tidur yang tidak membatalkan wudhu, karena dalam madzhab Syafi’i seseorang yang tidur dalam keadaan duduk tidak bergerak maka hal itu tidak membatalkan wudhu’. Maka seseorang yang selama berjam-jam menunggu waktu shalat, ia terhitung mendapatkan pahala shalat sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tadi. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari di hari-hari terakhir dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam keadaan sakit, suatu waktu beliau terbangun di tengah malam setelah sebelumnya beliau tidak sadarkan diri (pingsan), dan ketika itu para sahabat ada yang dalam keadaan berdzikir, ada pula yang tertidur dalam keadaan duduk di dalam masjid dan keadaan belum melakukan shalat Isya’ dan tidak ada yang bergerak dari tempatnya karena menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat berjamaah bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kepada sayyidah Aisyah untuk membawa beliau ke tempat berwudhu lalu, dan setelah itu beliau kembali roboh dan tidak sadarkan diri, kemudian terbangun di sepertiga malam dan berkata kepada sayyidah Aisyah RA : “Wahai Aisyah, apakah orang-orang sudah melakukan shalat ‘isya?”, sayyidah Aisyah berkata: “Belum, karena mereka menunggumu wahai Rasulullah “, demikian keadaan para pecinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka para sahabat tidak ingin catatan shalat mereka ditulis kecuali dengan tulisan : Fulan bin Fulan bermakmum pada sang imam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini manakah yang lebih utama antara melakukan shalat di awal waktunya atau melakukan shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak di awal waktu?, padahal dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa amal yang paling utama adalah mengerjakan shalat di awal waktunya, namun ketika itu justru para sahabat menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sepertiga malam untuk mengerjakan shalat isya’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini menunjukkan bahwa melakukan shalat bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih utama dari melakukan shalat tepat pada waktunya dan tidak bersama dengan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini para ulama’ mengatakan diperbolehkan mengakhirkan waktu shalat jika dalam keadaan ada ta’lim atau dars (pelajaran), yaitu ketika tiba waktu shalat maka kumandangkan adzan kemudian melanjutkan ta’lim atau dars hingga selesai, karena duduk (dalam hal-hal yang baik) dalam keadaan menunggu waktu shalat termasuk ibadah, lain halnya jika mengundur waktu shalat dikarenakan sesuatu atau hal yang bersifat duniawi maka hal itu tidak diperbolehkan, akan tetapi jika mengakhirkan waktu shalat karena Ilmu maka yang lebih utama adalah menunggu hingga pembahasan ilmu selesai dan semua yang dipelajari dapat difahami barulah setelah itu melakukan shalat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat dahulu memperbuat hal itu yaitu melakukan shalat Isya’ hingga tengah malam, dan juga dikhawatirkan jika pembahasan ilmu itu dihentikan seketika dan orang yang belajar belum memahami ilmu tersebut maka dikhawatirkan ia keluar dari majelis ilmu itu tanpa ada pemahaman dan menyampaikan sesuatu atau ilmu kepada yang lainnya dengan tidak ada pemahaman akan ilmu yang ia sampaikan.
Hal ini banyak belum difahami oleh sebagian orang, dimana mereka berpendapat jika adzan telah dikumandangkan maka harus segera dilaksanakan shalat dalam keadaan apapun, akan tetapi dalam hal ini jika dalam keadaan dalam pembahasan suatu ilmu dan tiba waktu shalat maka sebaiknya menyelesaikan pembahasan ilmu tersebut, kemudian baru melakukan shalat, dan hal demikian adalah ijma’ para ulama.
Selanjutnya ada pertanyaan yang ingin saya jawab, yaitu masalah Jama’ah Tabligh, dimana saat ini masyarakat semakin banyak memperdebatkan hal ini, perlu kita ketahui dan yakini bahwa Jama’ah Tabligh adalah kumpulan orang Islam, yang mana jika mereka kafir maka mereka tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam masjid, namun dalam hal ini yang kita larang adalah jika aqidahnya dapat merusak aqidah Ahlu sunnah waljama’ah, maka sebelum mereka masuk ke suatu masjid terebih dahulu sampaikan kepada mereka bahwa di masjid tersebut menerapkan madzhab Syafi’i yang diantaranya jika dalam shalat Subuh mereka membaca doa qunut, atau ketika seseorang menjadi imam shalat maka ia membaca Bismillahirrahmanirrahim secara terang-terangan, jika setelah disampaikan kepada mereka akan hal tersebut dan mereka tidak berkenan untuk mengikutinya maka mintalah mereka untuk memilih tempat atau masjid yang lainnya. Namun jangan menjadi permusuhan hingga ketika mereka baru saja tiba di suatu masjid mereka langsung diusir atau yang lainnya, karena dari mereka banyak juga yang berfaham Ahlu Sunnah Wal jama’ah yang bisa kita rangkul untuk bersama berjuang dalam berdakwah, banyak diantara mereka yang melakukan amalan-amalan seperti yang kita lakukan, seperti maulid nabi dan lainnya, bahkan cara-cara mereka banyak yang diambil dan dikerjakan oleh guru kita Al Musnid Al Habib Umar bin Muhammad Al Hafidh, yang diantaranya Khuruj (keluar) dari rumah untuk berdakwah, hal ini juga dilakukan oleh beliau, dan beliau juga pernah hadir dalam Ijtima’ Jama’ah Tabligh yang diadakan di Pakistan. Akan tetapi diantara mereka ada juga yang berfaham Wahabisme dan ada juga yang Ahlu sunnah waljama’a, maka mereka (Jama’ah Tabligh) yang berfaham ahlu sunnah wal jamaah dan berkeyakinan sama dengan kita, jangan kita samakan dengan mereka yang berbeda faham dengan kita, yang diantaranya mengatakan bahwa maulid nabi adalah perbuatan syirik, ziarah kubur atau membaca tahlil adalah perbuatan syirik dan lainnya maka jangan disamakan antara dua kelompok tersebut. Di masa sekarang khususnya di daerah Jakarta ini sudah mulai ada pihak-pihak dari dalam yang berusaha untuk memecah belah para ulama’ serta majelis-majelis ta’lim dan dzikir hendak dihancurkan, maka kedepannya akan menyusup pihak-pihak dari luar yang memusuhi Islam, inteligen Amerika dan yang lainnya yang akan menginterogasi para ulama’, habaib dan kyai, jika kita ummat Islam tidak segera bersatu dalam satu barisan, maka kita segera bersatu dalam satu kalimat “Laa ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah”, berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam hukum maka silahkan dihukum karena negeri ini adalah negeri hukum, namun diluar hal itu kita sesama ummat Islam jangan berpecah belah. Adapun berkaitan dengan kesalahan atau dosa, kita terima bahwa semua orang tidak akan terlepas dari dosa maka kita maafkan saja, mengenai dosa maka hal itu adalah urusan antara makhluk dengan Allah subhanahu wata’ala. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw berkata : “Jika engkau melihat aib orang lain maka bisa jadi aibmu lebih besar dari aib orang itu, dan jika engkau tidak tidak pernah melakukan aib sebesar itu, maka ingatlah barangkali Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni aib orang itu, namun belum mengampuni aib mu yang meskipun lebih kecil”. Guru kita Al Habib Umar menjelaskan dalam salah satu kitab beliau tentang kemuliaan sayyidina Mu’adz bin Jabal yang diajari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu tuntunan kezuhudan dan wara’ (berhati-hati dalam berbuat), berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “ Wahai Mu’adz kelak engkau akan bertanggung jawab dihadapan Allah subhanahu wata’ala tentang segala sesuatu yang engkau lakukan, bahkan tentang butiran debu yang menempel di tanganmu yang mungkin engkau mengira bahwa hal itu tidak akan dipertanyakan”, dan dalam kitab itu guru mulia Al Habib Umar juga menjelaskan bagaimana seseorang harus mencari rizki dari cara halal, sebagaimana cerita salah seorang wanita shalihah yang jika suaminya akan berangkat kerja maka ia berkata kepadanya : “ wahai suamiku kudoakan agar engkau mendapatkan keberkahan, maka jangan bawakan yang haram kepada kami, jangan membawa rizki yang dapat menjebak kami ke dalam api neraka, jangan bawakan makanan dan minuman yang dapat menyeret kami ke dalam api neraka, kami rela jika harus tidak makan atau minum berada dalam keadaan lapar atau haus asalkan kami tetap berada dalam keridhaan Allah subhanahu wata’ala”. Di zaman sekarang ini adakah wanita yang berani mengatakan hal itu kepada suaminya?!, wanita shalihah seperti ini sangat sulit ditemui. Dijelaskan juga oleh guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bahwa jika seseorang tidak peduli dari mana rizkinya didapatkan apakah dengan cara yang halal atau yang haram maka Allah subhanahu wata’ala juga tidak peduli ia masuk ke dalam neraka Jahannam dari pintu yang mana.
Sedikit menambah penjelasan hadits tadi, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang duduk di masjid dalam keadaan scui untuk menunggu shalat maka selama itu ia berada dalam pahala shalat sampai tiba waktu shalat tersebut. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, namun ditambahkan dengan ucapan sayyidina Hasan bin Ali Kw, yaitu bahwa seseorang tetap dalam kebaikan selama menanti kebaikan, seperti saat ini kita dalam keadaan menanti dzikir, menanti doa penutup maka pahalanya terus mengalir selama waktu menanti itu, dalam hal ini bagaimana kemuliaan orang yang senantiasa menanti untuk berjumpa dengan Allah, hari-hari terlewatkan, musibah berganti dengan kenikmatan, perubahan demi perubahan terjadi namun ia tetap menanti perjumpaan dengan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
(الإنشقاق : 6 )
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” ( QS. Al Insyiqaaq : 6 )
Sungguh keberuntungan besar bagi orang yang menunggu untuk berjumpa dengan Allah subhanahu wata’ala. Hamba- hamba yang merindukanNya maka Allah pun merindukannya, sebagaimana firmanNya dalam hadits qudsi :
مَنْ أَحَبَّ لِقَائِيْ أَحْبَبْتُ لِقَاءَهُ
“ Barangsiapa yang rindu ingin berjumpa dengan-Ku maka Aku pun ingin berjumpa dengannya”
Ya Allah pantaskah dengan segala dosa dan kesalahan inikah Engkau merindukan kami, sangatlah tidak pantas seorang budak hina seperti kami mengatakan hal itu, namun di malam ini dengan izin Mu Engkau perdengarkan hadits itu kepada kami. Sebagai contoh jika seorang raja yang sangat mulia mengumpulakn sepuluh ribu orang budaknya dan setiap budak mengutarakan keinginannya dari segala kenikmatan dunia lantas ia kabulkan keinginan mereka, namun satu dari mereka hanya terdiam dan ketika ditanya : “Apa yang engkau inginkan?”, si budak menjawab : “Aku menginginkanmu”, sungguh sangatlah tidak pantas seorang budak mengucapkan hal demikian, namun Allah subhabahu wata’ala senantiasa memberikan harapan dan membuka kesempatan untuk hamba yang menginginkan cintaNya..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا

1 komentar: