Pahala Menanti Waktu Shalat
قَالَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : لا يَزَالُ الْعَبْدُ، فِي صَلاةٍ، مَا كَانَ، فِي الْمَسْجِدِ،
يَنْتَظِرُ الصَّلاةَ، مَا لَمْ يُحْدِثْ.
(صحيح
البخاري)
“ِSabda
Rasulullah saw : Tiada hentinya hamba dalam pahala shalat (walau ia diam)
selama ia masih tetap dimasjid dalam keadaan suci menanti waktu shalat” (Shahih
Bukhari)
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ
وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ
هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ
نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ
وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا
الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ
قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan
puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha Membuka
keluhuran di dalam kehidupan jiwa, Yang menjadikan setiap detik-detik adalah
berlian keabadian untuk mencapai kedekatan kepada Allah, hingga sampailah
kepada kita seindah-indah kabar yang merupakan samudera luas Ilahi, mutiara
pembuka keridhaan Allah subhanahu wata’ala, rahasia cahaya kebahagiaan dunia
dan akhirat, rahasia pembuka keluhuran di dunia dan akhirat, rahasia pembuka
kesucian dan keindahan yang membuat hati tenang yang dipenuhi dengan iman dan
ihsan di dunia dan akhirat. Suara dari untaian kalimat-kalimat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menerangi jiwa-jiwa para sahabat dan mengangkat
jiwa mereka menuju kepada keluhuran, yang telah berkata sayyidina Abu Hurairah
RA:
ياَرَسُوْلَ الله إِذَا رَأَيْنَاكَ رَقَّتْ
قُلُوْبُنَا
“
Wahai Rasulullah jika kami melihatmu, terangkatlah hati kami sampai puncak ke
khusyu’an”
Maka
ketika pemilik wajah indah itu mengucapkan kata-kata sungguh seakan-akan
mutiara berjatuhan dari bibir mulia beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena
indahnya suara beliau. Sehingga diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa
tiada suara yang lebih indah daripada suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dan ketika beliau berbicara di hari Hajj Al Wada’ (Haji Perpisahan)
yang dihadiri oleh puluhan ribu orang maka suara beliau terdengar rata oleh
orang yang berada di barisan terdepan atau pun yang berada di barisan paling
belakang, meskipun di saat itu tidak ada pengeras suara, akan tetapi angin
tidak berani memotong suara nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana
suara itu mampu menembus ‘arsy Ar rahman di dalam munajat. Dalam hadits diatas
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang duduk menanti
waktu shalat dan dalam keadaan suci maka ia mendapatkan pahala shalat selamat
waktu menanti shalat tersebut, misalkan seseorang menunggu waktu shalat Asar
sejak selesai shalat Dzuhur, maka selama waktu menunggu itu ia terhitung
melakukan shalat meskipun dalam keadaan tidur (tidur dengan keadaan duduk),
tidur yang tidak membatalkan wudhu, karena dalam madzhab Syafi’i seseorang yang
tidur dalam keadaan duduk tidak bergerak maka hal itu tidak membatalkan wudhu’.
Maka seseorang yang selama berjam-jam menunggu waktu shalat, ia terhitung
mendapatkan pahala shalat sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits tadi. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari di
hari-hari terakhir dalam kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
dalam keadaan sakit, suatu waktu beliau terbangun di tengah malam setelah
sebelumnya beliau tidak sadarkan diri (pingsan), dan ketika itu para sahabat
ada yang dalam keadaan berdzikir, ada pula yang tertidur dalam keadaan duduk di
dalam masjid dan keadaan belum melakukan shalat Isya’ dan tidak ada yang
bergerak dari tempatnya karena menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
untuk melakukan shalat berjamaah bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta kepada sayyidah
Aisyah untuk membawa beliau ke tempat berwudhu lalu, dan setelah itu beliau
kembali roboh dan tidak sadarkan diri, kemudian terbangun di sepertiga malam
dan berkata kepada sayyidah Aisyah RA : “Wahai Aisyah, apakah orang-orang
sudah melakukan shalat ‘isya?”, sayyidah Aisyah berkata: “Belum,
karena mereka menunggumu wahai Rasulullah “, demikian keadaan para
pecinta sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka para sahabat
tidak ingin catatan shalat mereka ditulis kecuali dengan tulisan : Fulan bin
Fulan bermakmum pada sang imam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal
ini manakah yang lebih utama antara melakukan shalat di awal waktunya atau
melakukan shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak di
awal waktu?, padahal dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda bahwa amal yang paling utama adalah mengerjakan shalat di
awal waktunya, namun ketika itu justru para sahabat menunggu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sepertiga malam untuk mengerjakan shalat
isya’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini menunjukkan
bahwa melakukan shalat bersama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih
utama dari melakukan shalat tepat pada waktunya dan tidak bersama dengan beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal ini para ulama’ mengatakan
diperbolehkan mengakhirkan waktu shalat jika dalam keadaan ada ta’lim atau dars
(pelajaran), yaitu ketika tiba waktu shalat maka kumandangkan adzan kemudian
melanjutkan ta’lim atau dars hingga selesai, karena duduk (dalam hal-hal yang
baik) dalam keadaan menunggu waktu shalat termasuk ibadah, lain halnya jika
mengundur waktu shalat dikarenakan sesuatu atau hal yang bersifat duniawi maka
hal itu tidak diperbolehkan, akan tetapi jika mengakhirkan waktu shalat karena
Ilmu maka yang lebih utama adalah menunggu hingga pembahasan ilmu selesai dan
semua yang dipelajari dapat difahami barulah setelah itu melakukan shalat,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat dahulu
memperbuat hal itu yaitu melakukan shalat Isya’ hingga tengah malam, dan juga
dikhawatirkan jika pembahasan ilmu itu dihentikan seketika dan orang yang
belajar belum memahami ilmu tersebut maka dikhawatirkan ia keluar dari majelis
ilmu itu tanpa ada pemahaman dan menyampaikan sesuatu atau ilmu kepada yang
lainnya dengan tidak ada pemahaman akan ilmu yang ia sampaikan.
Hal
ini banyak belum difahami oleh sebagian orang, dimana mereka berpendapat jika
adzan telah dikumandangkan maka harus segera dilaksanakan shalat dalam keadaan
apapun, akan tetapi dalam hal ini jika dalam keadaan dalam pembahasan suatu
ilmu dan tiba waktu shalat maka sebaiknya menyelesaikan pembahasan ilmu tersebut,
kemudian baru melakukan shalat, dan hal demikian adalah ijma’ para ulama.
Selanjutnya
ada pertanyaan yang ingin saya jawab, yaitu masalah Jama’ah Tabligh, dimana
saat ini masyarakat semakin banyak memperdebatkan hal ini, perlu kita ketahui
dan yakini bahwa Jama’ah Tabligh adalah kumpulan orang Islam, yang mana jika
mereka kafir maka mereka tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam masjid, namun
dalam hal ini yang kita larang adalah jika aqidahnya dapat merusak aqidah Ahlu
sunnah waljama’ah, maka sebelum mereka masuk ke suatu masjid terebih dahulu
sampaikan kepada mereka bahwa di masjid tersebut menerapkan madzhab Syafi’i
yang diantaranya jika dalam shalat Subuh mereka membaca doa qunut, atau ketika
seseorang menjadi imam shalat maka ia membaca Bismillahirrahmanirrahim secara
terang-terangan, jika setelah disampaikan kepada mereka akan hal tersebut dan
mereka tidak berkenan untuk mengikutinya maka mintalah mereka untuk memilih
tempat atau masjid yang lainnya. Namun jangan menjadi permusuhan hingga ketika
mereka baru saja tiba di suatu masjid mereka langsung diusir atau yang lainnya,
karena dari mereka banyak juga yang berfaham Ahlu Sunnah Wal jama’ah yang bisa
kita rangkul untuk bersama berjuang dalam berdakwah, banyak diantara mereka
yang melakukan amalan-amalan seperti yang kita lakukan, seperti maulid nabi dan
lainnya, bahkan cara-cara mereka banyak yang diambil dan dikerjakan oleh guru
kita Al Musnid Al Habib Umar bin Muhammad Al Hafidh, yang diantaranya Khuruj
(keluar) dari rumah untuk berdakwah, hal ini juga dilakukan oleh beliau, dan
beliau juga pernah hadir dalam Ijtima’ Jama’ah Tabligh yang diadakan di
Pakistan. Akan tetapi diantara mereka ada juga yang berfaham Wahabisme dan ada
juga yang Ahlu sunnah waljama’a, maka mereka (Jama’ah Tabligh) yang berfaham
ahlu sunnah wal jamaah dan berkeyakinan sama dengan kita, jangan kita samakan
dengan mereka yang berbeda faham dengan kita, yang diantaranya mengatakan bahwa
maulid nabi adalah perbuatan syirik, ziarah kubur atau membaca tahlil adalah
perbuatan syirik dan lainnya maka jangan disamakan antara dua kelompok
tersebut. Di masa sekarang khususnya di daerah Jakarta ini sudah mulai ada
pihak-pihak dari dalam yang berusaha untuk memecah belah para ulama’ serta
majelis-majelis ta’lim dan dzikir hendak dihancurkan, maka kedepannya akan
menyusup pihak-pihak dari luar yang memusuhi Islam, inteligen Amerika dan yang
lainnya yang akan menginterogasi para ulama’, habaib dan kyai, jika kita ummat
Islam tidak segera bersatu dalam satu barisan, maka kita segera bersatu dalam
satu kalimat “Laa ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah”, berkaitan
dengan orang-orang yang terlibat dalam hukum maka silahkan dihukum karena
negeri ini adalah negeri hukum, namun diluar hal itu kita sesama ummat Islam
jangan berpecah belah. Adapun berkaitan dengan kesalahan atau dosa, kita terima
bahwa semua orang tidak akan terlepas dari dosa maka kita maafkan saja,
mengenai dosa maka hal itu adalah urusan antara makhluk dengan Allah subhanahu
wata’ala. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw berkata : “Jika engkau melihat
aib orang lain maka bisa jadi aibmu lebih besar dari aib orang itu, dan jika
engkau tidak tidak pernah melakukan aib sebesar itu, maka ingatlah barangkali
Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni aib orang itu, namun belum mengampuni
aib mu yang meskipun lebih kecil”. Guru kita Al Habib Umar menjelaskan
dalam salah satu kitab beliau tentang kemuliaan sayyidina Mu’adz bin Jabal yang
diajari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salah satu tuntunan kezuhudan
dan wara’ (berhati-hati dalam berbuat), berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam : “ Wahai Mu’adz kelak engkau akan bertanggung jawab dihadapan
Allah subhanahu wata’ala tentang segala sesuatu yang engkau lakukan, bahkan
tentang butiran debu yang menempel di tanganmu yang mungkin engkau mengira
bahwa hal itu tidak akan dipertanyakan”, dan dalam kitab itu guru mulia
Al Habib Umar juga menjelaskan bagaimana seseorang harus mencari rizki dari
cara halal, sebagaimana cerita salah seorang wanita shalihah yang jika suaminya
akan berangkat kerja maka ia berkata kepadanya : “ wahai suamiku kudoakan
agar engkau mendapatkan keberkahan, maka jangan bawakan yang haram kepada kami,
jangan membawa rizki yang dapat menjebak kami ke dalam api neraka, jangan
bawakan makanan dan minuman yang dapat menyeret kami ke dalam api neraka, kami
rela jika harus tidak makan atau minum berada dalam keadaan lapar atau haus
asalkan kami tetap berada dalam keridhaan Allah subhanahu wata’ala”. Di
zaman sekarang ini adakah wanita yang berani mengatakan hal itu kepada
suaminya?!, wanita shalihah seperti ini sangat sulit ditemui. Dijelaskan juga
oleh guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bahwa jika seseorang tidak peduli dari
mana rizkinya didapatkan apakah dengan cara yang halal atau yang haram maka
Allah subhanahu wata’ala juga tidak peduli ia masuk ke dalam neraka Jahannam
dari pintu yang mana.
Sedikit
menambah penjelasan hadits tadi, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda bahwa seseorang yang duduk di masjid dalam keadaan scui untuk menunggu
shalat maka selama itu ia berada dalam pahala shalat sampai tiba waktu shalat
tersebut. Hadits yang semakna dengan hadits ini juga diriwayatkan dalam Shahih
Al Bukhari, namun ditambahkan dengan ucapan sayyidina Hasan bin Ali Kw, yaitu
bahwa seseorang tetap dalam kebaikan selama menanti kebaikan, seperti saat ini
kita dalam keadaan menanti dzikir, menanti doa penutup maka pahalanya terus
mengalir selama waktu menanti itu, dalam hal ini bagaimana kemuliaan orang yang
senantiasa menanti untuk berjumpa dengan Allah, hari-hari terlewatkan, musibah
berganti dengan kenikmatan, perubahan demi perubahan terjadi namun ia tetap
menanti perjumpaan dengan Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala
berfirman :
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى
رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلَاقِيهِ
(الإنشقاق
: 6 )
“Wahai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu,
maka pasti kamu akan menemui-Nya.” ( QS. Al Insyiqaaq : 6 )
Sungguh
keberuntungan besar bagi orang yang menunggu untuk berjumpa dengan Allah
subhanahu wata’ala. Hamba- hamba yang merindukanNya maka Allah pun
merindukannya, sebagaimana firmanNya dalam hadits qudsi :
مَنْ أَحَبَّ لِقَائِيْ أَحْبَبْتُ لِقَاءَهُ
“
Barangsiapa yang rindu ingin berjumpa dengan-Ku maka Aku pun ingin berjumpa
dengannya”
Ya
Allah pantaskah dengan segala dosa dan kesalahan inikah Engkau merindukan kami,
sangatlah tidak pantas seorang budak hina seperti kami mengatakan hal itu,
namun di malam ini dengan izin Mu Engkau perdengarkan hadits itu kepada kami.
Sebagai contoh jika seorang raja yang sangat mulia mengumpulakn sepuluh ribu
orang budaknya dan setiap budak mengutarakan keinginannya dari segala
kenikmatan dunia lantas ia kabulkan keinginan mereka, namun satu dari mereka
hanya terdiam dan ketika ditanya : “Apa yang engkau inginkan?”, si
budak menjawab : “Aku menginginkanmu”, sungguh sangatlah tidak
pantas seorang budak mengucapkan hal demikian, namun Allah subhabahu wata’ala
senantiasa memberikan harapan dan membuka kesempatan untuk hamba yang
menginginkan cintaNya..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
seasonbet77
BalasHapusAgen Sbobet
Agen Judi Online
Agen Judi